Kuliner

Es Krim Cone Rp 64.000: Kontroversi Harga Tinggi yang Mengguncang Dunia Kuliner

×

Es Krim Cone Rp 64.000: Kontroversi Harga Tinggi yang Mengguncang Dunia Kuliner

Sebarkan artikel ini
Potret Es Krim Cone dari Suka Dessert - Beautifunara
Potret Es Krim Cone dari Suka Dessert - Beautifunara

Kuliner – Dalam beberapa tahun terakhir, tren kuliner unik semakin berkembang di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Namun, tidak semua inovasi makanan mendapatkan sambutan positif dari konsumen. Baru-baru ini, penjual es krim cone di Malaysia, Suka Dessert, menarik perhatian publik dengan menu es krim baru yang dijual seharga Rp 64.000. Meskipun menawarkan keunikan dalam rasa dan penyajian, harga yang tinggi membuat banyak netizen mengkritik dan mempertanyakan nilai dari es krim tersebut.

Latar Belakang

Es krim cone yang dijual dengan harga Rp 64.000 ini dikenal sebagai ‘3 Phase Ice Cream’. Menu ini resmi diluncurkan pada 5 Desember 2024 dan dengan cepat menjadi sorotan di media sosial. Produk ini terdiri dari tiga lapisan: scoop gelato di bagian atas, lelehan cokelat cair di tengah, dan brownies di bagian bawah, semuanya ditambah dengan topping biskuit renyah. Meskipun terdengar menggugah selera, banyak konsumen yang merasa bahwa harga yang dipatok terlalu tinggi untuk sebuah es krim.

Kritikan dari Netizen

Setelah unggahan mengenai es krim ini viral di media sosial, komentar negatif mulai bermunculan. Banyak netizen yang merasa bahwa harga RM 18 (sekitar Rp 64.000) terlalu mahal untuk sebuah cone es krim. Beberapa komentar menyoroti bahwa harga tersebut tidak sebanding dengan pengalaman yang ditawarkan. Kritik ini mencerminkan kekhawatiran yang lebih besar mengenai normalisasi harga makanan dan minuman yang semakin tinggi di kalangan penjual.

Reaksi Konsumen

Sebagian besar reaksi dari konsumen menunjukkan ketidakpuasan terhadap harga yang ditetapkan. Beberapa netizen bahkan menyatakan bahwa harga tersebut bisa membuat penjual lain mengikuti jejak yang sama, sehingga memicu tren harga tinggi di pasar kuliner. Meskipun beberapa orang mengakui kualitas bahan yang digunakan, banyak yang merasa bahwa tidak ada alasan yang cukup kuat untuk membenarkan harga tersebut.

Pembelaan dari Pemilik Gerai

Menanggapi kritik yang datang, pemilik Suka Dessert, Siti Hajar Mohd Razali atau lebih dikenal sebagai Aunty Ja, memberikan penjelasan melalui akun TikTok-nya. Ia menjelaskan bahwa harga yang tinggi disebabkan oleh penggunaan bahan berkualitas tinggi dan teknik pembuatan yang khusus. Aunty Ja menegaskan bahwa setiap komponen dari es krim tersebut memiliki nilai dan kualitas tersendiri.

Biaya Produksi dan Pajak

Aunty Ja juga menjelaskan bahwa dalam menentukan harga, mereka harus mempertimbangkan berbagai biaya, termasuk pajak 6%, gaji pegawai, serta bahan baku yang digunakan. Ia menekankan bahwa tidak semua penjual memiliki biaya yang sama, dan perbandingan harga antar penjual tidak selalu adil. Menurutnya, setiap usaha kuliner memiliki struktur biaya yang berbeda-beda, sehingga harga yang dipatok pun bisa bervariasi.

Analisis Harga Makanan di Era Modern

Tren harga makanan yang semakin tinggi tidak hanya terjadi pada es krim ini. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak restoran dan kafe yang mulai menjual makanan dengan harga premium. Hal ini sering kali dipicu oleh meningkatnya biaya bahan baku, sewa tempat, dan upah kerja. Namun, banyak konsumen yang merasa terasing dengan harga-harga ini, terutama ketika produk yang ditawarkan tidak menunjukkan perbedaan signifikan dalam kualitas atau rasa dibandingkan dengan produk sejenis yang lebih terjangkau.

Dampak Normalisasi Harga Tinggi

Fenomena normalisasi harga tinggi dalam industri kuliner bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, penjual berhak menentukan harga sesuai dengan biaya yang mereka keluarkan. Namun, di sisi lain, terlalu banyak penjual yang menentukan harga tinggi dapat menyebabkan konsumen merasa terbebani. Hal ini bisa mengubah pola konsumsi masyarakat, di mana mereka menjadi lebih selektif dan kritis terhadap keputusan pembelian mereka.

Kontroversi mengenai es krim cone Rp 64.000 di Suka Dessert mencerminkan berbagai dinamika yang terjadi dalam industri kuliner saat ini. Meskipun penjual memiliki alasan kuat untuk mematok harga tinggi, reaksi dari konsumen menunjukkan bahwa tidak semua inovasi diterima dengan baik, terutama jika harga dianggap tidak sebanding dengan produk yang ditawarkan.

Di masa depan, penting bagi penjual untuk mempertimbangkan bagaimana mereka menyampaikan nilai dari produk mereka kepada konsumen. Komunikasi yang jelas mengenai kualitas bahan, proses pembuatan, dan alasan di balik harga yang ditetapkan dapat membantu mengurangi ketidakpuasan konsumen. Di sisi lain, konsumen juga perlu menyadari bahwa keputusan untuk membeli adalah hak mereka, dan mereka memiliki kekuatan untuk menentukan apa yang mereka anggap berharga.

Dengan demikian, kasus es krim Rp 64.000 ini bukan hanya sekadar tentang harga, tetapi juga tentang bagaimana pasar kuliner beroperasi dalam konteks ekonomi yang terus berubah. Penjual dan konsumen harus saling memahami untuk menciptakan ekosistem kuliner yang sehat, berkelanjutan, dan saling menguntungkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Rahasia dan Strategi Gacor dari Dragon Treasure.