MedanpejabatpendidikanPolitik

Presiden Prabowo Subianto Menanggung Beban Pemerintahan Besar, Apakah Indonesia Sanggup?

Presiden Prabowo Subianto
Prabowo Subianto (kanan tengah) akan segera memasukkan semua partai di parlemen ke dalam koalisinya

Presiden Indonesia Prabowo Subianto memulai masa jabatannya dengan hampir 50 kementerian. Dan pemimpin tersebut mengakui bahwa beberapa orang mungkin melihat kabinetnya sebagai kabinet yang “gemuk.” Namun hal ini juga bisa membantu Subianto memperkuat koalisi penguasa yang besar.

Presiden baru Indonesia, Prabowo Subianto, telah menjabat setelah resmi di lantik pada hari Minggu. Salah satu langkah pertamanya adalah secara resmi melantik total 48 menteri, dengan 22 kementerian dan lembaga baru. Untuk membantu memerintah negara selama 5 tahun ke depan.

Beberapa di antaranya di bentuk melalui penggabungan dan pemisahan kementerian-kementerian sebelumnya. Misalnya, Kementerian Riset dan Teknologi di kabarkan di pecah menjadi tiga. Kementerian Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Tinggi, dan Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi.

Hal ini merupakan topik hangat di Indonesia, di mana investor telah lama mengeluhkan birokrasi dan inefisiensi pemerintahan. Sebagai perbandingan, Vietnam memiliki 17 kementerian dan negara tetangga Indonesia, Filipina, memiliki 22 kementerian.

Tidak ada lagi batasan hukum mengenai jumlah kementerian.

Parlemen Indonesia baru-baru ini mengesahkan undang-undang baru yang memberi Prabowo Subianto lebih banyak kekuasaan untuk merestrukturisasi kabinetnya. Undang-undang yang lama mencantumkan batasan hukum terhadap jumlah kementerian, yang memperbolehkan hingga 34 kementerian. Namun batasan tersebut kini telah di hapus.

“Saya ingin menciptakan pemerintahan yang bersatu dan kuat,” kata Subianto di forum ekonomi pekan lalu. Ia menambahkan, “koalisi harus besar, dan ada yang akan mengatakan kabinet saya gemuk.”

Analis politik Indonesia Ujang Koomarudin mengatakan perubahan tersebut telah memungkinkan “distribusi posisi yang lebih luas bagi sekutu-sekutu Subianto.” Di posisi-posisi teratas, sehingga membuka jalan menuju kabinet yang membengkak. Pada saat yang sama, hal ini berarti Subianto akan mampu mendapatkan dukungan dari sebanyak mungkin partai politik untuk pemerintahannya.

Subianto menginginkan seluruh parlemen di bloknya.

Subianto di dukung oleh koalisi besar yang mencakup tujuh dari delapan partai di parlemen, atau sekitar 82% kursi parlemen. Jika Subianto berhasil memasukkan faksi politik terbesar di negara ini, Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) ke dalam bloknya. Maka tidak akan ada lagi oposisi yang tersisa di majelis tersebut.

“Memang dalam sistem pemerintahan yang sehat. Oposisi sangat di perlukan dan keberadaannya sangat penting untuk mengawasi kerja dan kebijakan yang di jalankan pemerintah. Jika oposisi sama sekali tidak hadir, maka dapat mengakibatkan sistem demokrasi yang tidak sehat.” Kata Feri Amsari. , pakar hukum tata negara Indonesia.

Negara-negara yang tidak memiliki oposisi yang kuat akan meningkatkan risiko menjadi otoriter. Dan beberapa negara di Indonesia sudah khawatir akan terulangnya rezim otokratis Soeharto pada akhir tahun 1990an.

Pemerintahan yang sangat berkuasa menguras sumber daya.

Struktur yang di sebut “kabinet gemuk” akan mengubah struktur internal pemerintahan, dan proses konsolidasi kemungkinan akan memakan waktu lebih lama. Selain itu, pemerintahan yang membengkak akan membebani anggaran negara dengan membiayai belanja rutin. Pengadaan gedung perkantoran, infrastruktur, dan fasilitas bagi menteri dan pejabat terkait.

Subianto sebelumnya menjabat sebagai jenderal Angkatan Darat, kemudian menjadi menteri pertahanan sebelum menjadi presiden.

Penelitian juga menunjukkan bahwa perluasan kementerian dan lembaga menyebabkan peningkatan biaya terkait pegawai.

Analis ekonomi Indonesia dan Direktur Pusat Studi Ekonomi (CELIOS), Bhima Yudhistira, khawatir dengan belanja berlebihan.

“Dengan struktur kementerian dan lembaga yang di proyeksikan akan di jalankan oleh Presiden Prabowo. Maka akan ada tambahan biaya hingga 1,6 triliun rupiah [sekitar $103 juta, €95 juta] untuk setiap kementerian per tahun. Jika di tambah 10 kementerian, totalnya bisa lebih dari 16 triliun rupiah,” ujarnya.

Lebih banyak kementerian juga berarti proses birokrasi yang lebih panjang. Bhima juga khawatir bahwa hal ini akan merugikan iklim investasi di Indonesia. Dan menggagalkan ambisi Subianto untuk menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 8% dari saat ini 5,05%.

Mengingat Indonesia masih sangat bergantung pada investasi asing. Pemerintah yang berlebihan mungkin akan membuat beberapa perusahaan asing berhenti berinvestasi di negara Asia Tenggara. Pada saat yang sama, basis kekuatan yang luas dapat membantu Subianto menjaga stabilitas. Yang memiliki keuntungan tersendiri dalam hal menarik investasi dan memastikan pembangunan ekonomi.

Exit mobile version